Mau bukti, longok saja geliat bisnis prostitusi di Gang Dolly, Surabaya, Jawa Timur. Bila anda berkunjung ke sana, area prostitusi yang konon terbesar di Asia Tenggara itu baru sepi di siang hari, dan mulai ramai sejak bedug maghrib ditabuh.
Dolly masih awet hingga kini karena selalu muncul penolakan ketika hendak ditutup. Mau bukti lagi, berkunjung lah ke area prostitusi tersohor di Jalan Pasar Kembang (Sarkem), Kota Yogyakarta. Tempat prostitusi itu juga masih lestari sampai kini.
Uniknya, tempat pelacuran di Indonesia ternyata identik dengan nama Jalan. Misalnya prostitusi Dolly. Dulu prostitusi di sana hanya berada di sebuah gang di Jalan Jarak, wilayah Pasar Kembang. Kemudian lokasi bisnis prostitusi berkembang, lalu muncul nama lokalisasi Dolly.
Begitu juga dengan prostitusi di Jalan Pasar Kembang (Sarkem), Yogyakarta, Jalan Kramat Tunggak, Jakarta Utara dan Jalan Kepanduan II, Kalijodo, Angke, Jakarta Barat. Berikut ini 4 jalan tempat prostitusi yang melegenda di Indonesia.
1. Gang Dolly Surabaya
Silahkan tanya orang Surabaya di mana lokasi prostitusi Dolly berada, semua pasti mafhum, bila area bisnis lendir ini ada di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Lalu bagaimana riwayat gang Dolly ini? Belum banyak catatan sejarah mengulas.
Namun Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar pernah menulis sejarah singkat Dolly dalam bukunya berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama "T," "Sul," "NM," dan "MR." Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama "Dolly".
"Dolly" semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
2. Jalan Pasar Kembang (Sarkem) Yogyakarta
Pasar Kembang merupakan nama jalan di Yogyakarta. Jalan Pasar Kembang, atau lebih terkenal disebut Sarkem. Jalan itu dikenal sebagai lokasi prostitusi di Kota Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon.
Warga setempat juga kerap menyebut Sarkem dengan nama Gang 3. Alasanya wilayah Sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Konon, Sarkem sebagai lokasi prostitusi disebut-sebut telah ada sejak sekitar 125 tahun silam. Sebab itu lokasi ini memiliki nilai historis yang memperkaya sejarah Kota Yogyakarta.
Sesui cerita tutur masyarakat setempat, Sarkem telah ada sejak 1818, hal tersebut berarti kegiatan prostitusi ini telah ada sejak Zaman Belanda. Ketika itu sedang berlangsung proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Yogyakarta dengan kota-kota lainnya.
Pemerintah Belanda berharap gaji para pekerja proyek kembali menjadi pemasukan Pemerintah belanda, maka di bangunlah Pasar kembang sebagai sarana prostitusi, agar pekerja menjajakan uang di sana. Semakin lama lokasi tersebut seakan dipetakan menjadi kawasan prostitusi di Yogyakarta.
Apalagi lokasi Sarkem berdekatan dengan kawasan wisata Malioboro yang menjadi daya tarik wisata di Yogyakarta. Hal itu memungkinkan nama Sarkem sebagai lokasi prostitusi semakin dikenal masyarakat luas.
3. Jalan Kramat Tunggak, Jakarta Utara
Praktik pelacuran di Jakarta diperkirakan sudah ada sejak VOC menguasai Batavia abad ke 17. Awalnya masyarakat Betawi menyebut pelacur dengan sebutan cabo. Kata ini berasal dari bahasa China Caibo yang kurang lebih berarti wanita malam. Awalnya memang praktik pelacuran banyak dijalankan oleh pendatang dari Tionghoa.
Namun lokasi dan jalan yang dikenal sebagai tempat pelacuran perlahan-lahan mulai dihapus. Misal lokasi pelacuran di Gang Hauber, Petojo, Jakarta Pusat dan lokasi bisnis pelacuran di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Lokasi itu kini bersih dari aktivitas pelacuran.
Bisnis pelacuran baru kembali muncul pada era paska kemerdekaan, yakni zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Para pelacur di Gang Hauber, Glodok, dan daerah lain direlokasi ke kawasan Jalan Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Hingga kini, aktifitas pelacuran masih ada di sana meski sembunyi-sembunyi.
Pada periode 1970-1980 an, luas Kramat Tunggak mencapai 12 hektar. Jumlah pelacur mencapai 2.000 orang. Kebanyakan berasal dari wilayah Pantura seperti Subang, Indramayu dan Cirebon. Lokalisasi ini dikenal sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
Tahun 1999, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso membubarkan Kramat Tunggak. Bang Yos mengubah lokalisasi ini menjadi Islamic Center. Tapi bukan berarti masalah pelacuran selesai. Para wanita malam kembali berkeliaran di jalan-jalan. Sebagian menyaru sebagai pemijat atau pemandu lagu.
4. Gang Kalijodo, Jakarta Utara
Nama Kalijodo di Kelurahan Angke, Jakarta Barat, sudah ada sebelum tempat pelacuran muncul. Orang Jakarta sejak dulu menamakan suatu tempat berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi. Dulu, mungkin di kali ini seringkali para gadis dan pria berpacaran dan berakhir dengan perjodoan.
Cerita lain, dulu di kali ini tiap tahun diselenggarakan pesta peh coen Imlek atau tahun baru China. Pesta ini menarik para muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian seperti barongsai dan pesta ngibing diiringi gambang keromong. Banyak taipan yang menjadi sponsor.
Namun Koran Tempo edisi Selasa, 5 Maret 2002 menulis cerita tentang Kalijodo. Sejak abad 18 Kalijodo juga terkenal sebagai ladang bisnis seks. Di sebelah Banjir Kanal Barat-Kali Angke itu jadi langganan para pria China mencari teman kencan atau membeli gundik.
Perempuan lokal dipoles dan dilatih lagu-lagu Mandarin untuk memikat para babah atau perantau dari China. Sejak itu praktis Kalijodo ikut memainkan peran penting terjadinya asimilasi pria-pria Tionghoa dan warga pribumi. Sampai era 50-an, para mucikari masih terlihat bersama perempuan-perempuan yang ditawarkan di atas perahu-perahu di Kali Angke.
Pada 1998 lokalisasi digusur oleh Gubernur Sutiyoso. Beberapa germo terusir dengan ganti rugi uang. Namun hingga kini, diam-diam di beberapa gang masih ada lokalisasi pelacuran kelas pinggiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar